HMTPWK UGM

2

“Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak, dan setiap orang  berhak atas kehidupan, kebebasan, dan kedamaian pribadi” – Munir

Perjuangan panjang dan tak kunjung usai dihadapi oleh orang-orang yang selama ini dipandang sebelah mata dan bahkan tidak diakui keberadaannya. Ialah kaum minoritas yang sebenarnya ada dan berkehidupan di sekitar kita.

Spik-Spik Kota kali ini bertujuan untuk mengajak kita agar lebih peka akan keadaan sekitar terutama kepada kaum minoritas, dengan mendatangkan dua orang narasumber, yaitu ;
1. Ajiwan Arief dari SIGAB Indonesia
2. Shinta Ratri dari Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta.

Hak Kaum Difabel Atas Kotanya

Arif Maftuhin, seorang Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa terdapat beberapa indikator, yaitu :

  1. Partisipasi Difabel

Masih banyak difabel yang tereksklusi dari masyarakat karena keluarga dan teman yang malu serta enggan untuk mengajak kaum difabel bersosialisasi ditengah masyarakat. Bahkan banyak juga difabel yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap di KPU.

  1. Payung Hukum

Sebenarnya sudah ada payung hukum  nasional yaitu UU No. 8 Tahun 2016 tentang disabilitas dan Perda Disabilitas DIY  tahun 2012. Namun, belum ada peraturan tentang disabilitas di Kota Yogyakarta. Pada tahun 2015 dan 2015 sudah ada Perda Inisiatf, namun tidak ada kelanjutan prosesnya sehingga sampai saat ini masih diusahakan mulai dari beraudiensi ke Balai Kota, hingga DPRD, namun belum ada perkembangan.

  1. Aksesibilitas

Di Jogja, akses untuk penyandang disabilitas sebenarnya cukup banyak ditemukan. Namun, banyak juga yang disalahgunakan atau kondisi akses tersebut bahkan tidak membantu kaum difabel sama sekali. Diantaranya, Guding Block yang digunakan sebagai lahan parkir, bidsng miring untuk jalur kursi roda terlalu curam, toilet khusus difabel yang dikunci, dan masih banyak lagi.

  1. Sikap Inklusif Warga Kota

Kesadaran masyarakat tentu saja merupakan inti dari setiap permasalahan yang ada. Sikap cemoohan dan tatapan sinis dari masyarakat tentunya menambah beban tersendiri bagi penyandang disabilitas.

Sikap Kota Terhadap Transgender

Sulitnya mencari lapangan pekerjaan membuat kaum waria banyak yang bekerja sebagai pengamen, pengemis, pekerja salon, dan bahkan sebagai Pekerja Seks Komersial. Tidak dapat membuat KTP berujung pada sulitnya mendapatkan layanan kesehatan, diskriminasi tempat tinggal, pendidikan, bahkan akses peribadatan membuat Ibu Shinta Ratri bersama kaum waria lainnya berusaha memperjuangkan identitasnya.

Bagaimana Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Masih Tetap Berdiri Walau Sempat Ditutup?

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah dibangun tanggal 8 Juli 2008 yang diprakarsai oleh Maryani (ALM) salah seorang waria di Yogyakarta dan ketua IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta) tahun 2010-2012. Pada awal berdirinya Ponpes ini, hanya Maryani satu-satunya waria namun mayoritas jamaah tidak memperdulikan statusnya. Pasca gempa Jogja, Bu Maryani kembali mengumpulkan teman-teman waria untuk berdoa bersama. Acara ini dihadiri sekitar 30 orang dari Surabaya, Semarang, Solo, Madiun, dan Ponorogo. Selanjutnya Ponpes ini semakin ramai dihadiri oleh waria.

Ibu Shinta Ratri yang merupakan pemilik bangunan serta pimpinan Pesantren mengatakan bahwa dibangunnya PonPes Waria Al-Fatah ini bertujuan untuk mengumpulkan kaum waria yang masa remajanya habis untuk pencarian jati diri agar kembali lagi mengingat Tuhan. Adanya berita hoax yang tersebar tentang kegiatan yang ada di Pondok Pesantren ini seringkali ‘mengundang’ ormas-ormas islam untuk datang dan akhirnya ditutup pada 25 Februari 2016. Namun, adanya relasi yang kuat dengan LBH dan HNBTI, latar belakang keluarga Bu Shinta Ratri yang cukup terpandang dan kebutuhan Pondok Pesantren untuk Bulan Ramadhan membuat PonPes ini dibuka lagi dan masih beroperasi hingga saat ini.

Hak Paling Krusial Kaum Minoritas Yang Harus Dipenuhi

            Sikap inklusif dari masyarakatlah yang sangat diharapkan oleh kaum minoritas saat ini. Sikap saling menghargai dan toleransi. Karena tidak melulu salah pemerintah, namun dari akarnya atau dari masyarakat kota itu sendiri yang membuat hak-hak sebagian orang terabaikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.