HMTPWK UGM

Kita berada dalam posisi yang dilematis. Pembangunan memang sebagai pemenuh hajat hidup publik, tetapi yang harus kita cermati adalah bahwa dalam setiap pembangunan pasti akan sesuatu yang harus dikorbankan.

-Sri Bintang Pamungkas-

 

sumber: http://kitanesia.id/
sumber: http://kitanesia.id/

Oktober 2017 merupakan moment di mana pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memasuki tahun ke tiga, terhitung semenjak Oktober 2014. Bersamaan dengan moment tersebut, bermunculanlah aksi-aksi dari para mahasiswa di seluruh Indonesia dan tak terkecuali terselenggaranya beragam seminar, kajian, dan diskusi menarik.

Sebagai wadah aspirasi bagi generasi sekaligus agen perubahan, pada Kamis (26/10/2017) lalu Divisi Pendidikan, Penelitian dan Profesi (DP3) Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (HMT PWK) UGM menyelenggrakan diskusi rutin yang dikenal dengan Spik-spik Kota yang mengusung tema “Triwarsa Jokowi-JK”.

Dipandu oleh Baiq Muslida Shafira, dan tiga narasumber yang memang concern serta kritis terhadap moment tersebut yaitu Dian Widyaningrum, Ahmad Khinarto, dan Sri Bintang Pamungkas, diskusi Triwarsa Jokowi-JK ini semakin menarik dan menjadikan para peserta diskusi meningkat antusiasnya. Diskusi yang tidak hanya berlangsung satu arah ini menjadi semakin ‘hidup’ dengan penyampaian  pandangan, argumen serta pertanyaan-pertanyaan kritis yang berasal dari para peserta diskusi.

 

Pembangunan di mana-mana, tetapi belum mampu menandingi Negara Tetangga

Pemerintah RI dalam masa kepemimpinan Jokowi ini sangat menggenjot pembangunan infrastruktur. Pembangunan ada di mana-mana tapi di sisi lain, posisi pembangunan infrastruktur di Indonesia masih berada pada peringkat 68 secara internasional. Tak ubahnya, masih belum mampu ‘menandingi’ negara tetangga sendiri, yaitu Singapore dan Malaysia.

Menanggapi pernyataan di atas, Narasumber Dian Widyaningrum melalui sudut pandang hukum mengemukakan bahwa, “Pemerintah harusnya tetap berkaca pada Nawacita, kembali mencermati sebenarnya pembangunan itu ditujukan untuk siapa?”. Pembangunan yang digencarkan saat ini tak ubahnya adalah pembangunan fisik. Memang sejauh ini, pencapaian pemerintah sudah cukup baik dibandingkan ‘rezim-rezim’ sebelumnya, terjadi peningkatan di berbagai penjuru Nusantara, meskipun memang belum seutuhnya. Hal positif nyata yang kasat mata adalah daerah pinggiran sudah mulai terbangun, meskipun sebagian besar pembangunan masih berorientasi di Jawa.

“Tapi kenapa sih, masih mau diadakan kota baru ‘Meikarta’? Apakah masih kurang pembangunan ‘di sana’?”, ungkap Dian Widyaningrum. Menurutnya, masih banyak daerah-darah di sisi Indonesia lainnya yang masih perlu dibangun. Ia juga menjelaskan bahwa tak jarang pembangunan di Indonesia selalu berbenturan dengan masalah agraria. “Terkadang masih susah untuk dapat menjalankan kebijakan yang satu dengan kebijakan yang lain secara bersamaan, secara selaras.”

 

Sebenarnya makna pembangunan itu apa jika bukan pembangunan secara fisik?

Dian Widyaningrum, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang berkonsentrasi pada Hukum Tata Negara ini mengatakan bahwa modal utama pembangunan adalah tanah, sehingga berhubungan dengan UUPA (undang-undang pokok agrarian), dan saat ini UUPA ini sering ‘dikhianati’. Terkadang ada tanah yang seharusnya untuk rakyat, mesti diklaim untuk ‘kepentingan umum’. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa tetap menyejahterakan masyarakat yang terdampak itu? Pembangunan pada hakikatnya berperan sebagai jalan untuk mengupayakan kesejahteraan.

“Menyejahterakan rakyat yang dimaksud adalah secara umum, bukan hanya rakyat yang ‘minoritas’ tapi punya kekuasaan. Oleh sebab itu, yang seharusnya dikembangkan adalah pembangunan yang dapat menciptakan lapangan kerja padat karya, bukan hanya padat modal. Sebab poin pentingnya adalah menyejahterakan masyarakat di daerah terdampak terlebih dahulu,” tegasnya.

Ahmad Khinarto kemudian menambahkan, “Pembangunan mana saja yang benar-benar pro rakyat? Kasus Meikarta sendiri, itu jika kita cermati apakah mungkin benar ‘ramah’ terhadap masyarakat ekonomi kelas bawah?”. Termasuk pembangunan tol sebagai salah satu ‘nyawa’ dari pembangunan infrastruktur RI, apakah pro rakyat ataukah tidak. Jalan tol merupakan suatu wujud interkoneksi yang berfungsi mengakomodasi kendaraan roda empat. “Secara tak langsung berarti yang bisa mengakses ya mereka yang punya kendaraan roda empat dan yang mampu membayar tarif tol, kan?” ungkap mahasiswa Teknik Elektro, FT UGM ini .

Menurutnya, jika memang pembangunan yang digencarkan saat ini adalah pembangunan pro rakyat, maka seharusnya dapat benar-benar dilihat perubahan positif signifikan terutama pada ‘bab’ yang ada keterkaitannya dengan rakyat (hal-hal yang sifatnya implisit). “Tetapi, realitanya saat ini beberapa hal yang berkitan dengan rakyat masih cenderung stagnan,” ujarnya.

Proyek Tol Bawen-Salatiga di Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. sumber: http://mediaindonesia.com
Proyek Tol Bawen-Salatiga di Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. sumber: http://mediaindonesia.com

Poin ke tiga Nawacita “Membangun Indonesia dari pinggiran” : Apakah sudah terealisasikan?

Menurut narasumber yang berasal dari Departemen Politik Pemerintahan Fakutas Ilmu Sosial Politik UGM, Sri Bintang Pamungkas, pembangunan harus memenuhi asas keadilan. Indonesia memiliki tetangga, sehingga dalam perspekti yang berbeda wajah negara Indonesia tidaklah semata-mata dilihat dari Jakarta (sang Ibukota) atau kota-kota besar lainnya. Wajah Indonesia adalah kondisi nyata di wilayah-wilayah perbatasan negara.

Presiden Jokowi memiliki cita-cita membangun ‘asa’ dari pinggir. Pesiden Jokowi menginginkan agar pembangunan yang dilakukannya tersebut kemudian memiliki dampat berantai atau multiplier effect. Melalui pembangunan, diinginkan tercapainya kesejahteraan. Tetapi  sebenarnya apa makna dari kesejahteraan itu sendiri? “Kita ambil contoh kasus semen Indonesia di Kab. Rembang. Pemerintah beranggapan bahwa pembangunan pabrik di lokasi itu akan mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat sekitarnya, sebab saat ini Rembang adalah daerah termiskin ke-2 di Prov. Jawa Tengah, dengan 43% dari total penduduknya adalah kelompok low income,” jelas Bintang.

 

 “Siapakah yang tidak nasionalis?

Pembangunan memang sebagai pemenuh hajat hidup publik, tetapi dalam setiap pembangunan pasti akan ada suatu hal yang harus dikorbankan. Pemerintah mengejar pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya, tetapi di sisi lain harus berhadapan dengan para petani dan warga asli yang bersi keras mempertahankan lahan pertanian dan ‘sejarah’ tanah mereka.

Apa sebenarnya tolok ukur suatu kesejahteraan? Apakah dari jumlah tenaga kerja yang terserap? Narasumber Bintang pun menegaskan serta memberikan suatu retorika bahwa pada dasarnya, industri semen adalah industri padat modal. Sehingga, apakah mayoritas warga yang tadinya sebagai petani bisa serta merta menduduki posisi atau jabatan yang tinggi saat bekerja di pabrik semen tersebut?

Pembangunan didasarkan untuk kemajuan tetapi dari proyek pembangunan infrastruktur yang telah berjalan sejauh ini, masih saja terdapat ‘penolakan-penolakan’. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sumber daya yang ada di nusantara ini adalah untuk dimanfaatkan (dibangun), tetapi pemanfaatannya tak jarang dipandang negatif, sarat akan eksplorasi sumber daya yang berlebihan dan berdampak negatif bagi daerah termasuk masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut terjadi sebab, masyarakat yang terdampak sendiri sangat rendah tingkat kepedulian dengan pertumbuhan ekonomi dan daya saing global. Masyarakat tersebut cenderung memperhitungkan kepentingan diri mereka sendiri, bukan orang lain.

 

Bagaimana perbandingan antara realita dengan ekspektasi dari hasil perencanaan yang dilaksanakan?

Dalam masa pemerintahan Jokowi-JK ini terdapat pula satu megaproyek kelistrikan nasional 35000 MW dan proyek-proyek infrastruktur kelistrikan lainnya. Jika dicermati, proyek-proyek tersebut secara dominan masih berorientasi di Pulau Jawa, sehingga realitanya masih dipandang tak begitu merata.

Yang sangat disayangkan adalah apabila gencarnya pembangunan infrastruktur ini merupakan salah satu cara memenuhi keinginan atau ‘syahwat’ politik. Kedepan, sebelum masa jabatan Presiden Jokowi usai, tentu pembangunan infastruktur tersebut semakin digencarkan serta ‘dikejar’ agar dapat selesai dalam waktu yang sesingkat mungkin. Ekspektasinya adalah proyek dapat selesai tepat waktu tetapi tidak pada waktu yang tepat, dan segera dapat dioperasikan. Namun yang harus tetap kita perhatikan adalah jangan sampai upaya menyingkat pengerjaan proyek tersebut menjadikan realita yang tidak maksimal yaitu kualitas dari proyek itu sendiri.

Proyek Tol Cisumdawu. sumber: http://cdn.img.print.kompas.com/
Proyek Tol Cisumdawu. sumber: http://cdn.img.print.kompas.com/

Bagaimana memaknai keterkaitan antara proyek pembangunan infrastruktur dengan kesejahteraan rakyat?

“Indonesia punya program wajib belajar 12 tahun yaitu sebagai salah satu bentuk pembangunan non fisik, tetapi mengapa mayoritas lulusan di suatu daerah tertentu (terutama pinggiran) masih banyak yang hanya lulusan SD?”

Penyebab rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia sangatlah beragam. Pernahkah pemerintah berpikir, mayoritas masyarakat di wilayah/daerah pinggiran memiliki tingkat pendidikan rendah karena susahnya/minimnya akses menuju ke sarana pendidikan? Jika mereka yang para wakil rakyat sampai salah menganalisis permasalahan yang ada, mungkin saja gencarnya proyek pembangunan infrastruktur di era pemerintahan saat ini justru akan menomorsekiankan aspek pendidikan yang juga merupakan aspek penting.

 

Epilog

Perlu diperhatikan kembali mengenai ‘membangun asa dari pinggir’, sebab dari berbagai sektor pembangunan infrastruktur pembangunan yang diajukan, sebagian besar proporsinya masih terpusat di Jawa. Keadaannya masih paradoks antara ekpektasi dan realita atau implementasi pembangunan yang ada.

Mulai mencoba menilik kembali mengenai mereka-mereka yang harus dikorbankan (yang dijadikan ‘persembahan’) saat dilaksanakan pembangunan. Pembangunan ini untuk siapa? Masyarakat atau persaingan semata? Pembangunan ini, jelas ada outputnya, tetapi bagaimana dengan outcomenya?

Leave a Reply

Your email address will not be published.