HMTPWK UGM

331468

Oleh: Rifqi Arrahmansyah/Mantjah (PWK 2014)
Divisi Media dan Informasi, Kasubdiv Branding HMTPWK UGM 2016/2017

Sudah hampir 2,5 tahun saya tinggal di tanah yang katanya istimewa ini, dimana rajanya bercermin di kalbu rakyat, dimana kesederhanaan adalah nilai yang sangat mengakar, dimana tahta raja adalah untuk rakyat. Dalam setiap kesempatan berkeliling jogja yang Pak Anies Baswedan bilang tiap sudutnya romantis, saya justru mempertanyakan, apakah keromantisan itu masih relevan terhadap keadaan sekarang?

Hamemayu hayuning bawana bermakna memperindah keindahan dunia. Memayu hayuning bawana adalah ihwal space culture atau ruang budaya sekaligus spiritual culture atau spiritualitas budaya. Memayu hayuning bawana memang upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin. Orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu hayuning bawana atau memperindah keindahan dunia, hanya inilah yang memberi arti dari hidup. Di satu fisik secara harafiah, manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. Sedangkan di pihak lain secara abstrak, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spritualnya. (Suwardi Endraswara, 2013).

Dalam penataan ruang, hamemayu hayuning bawana menurut saya jauh lebih advance daripada sustainable development goals yang sekarang banyak di gaungkan, alasannya sederhana, karen hememayu hayuning bawana merupakan bukti kearifan masyarakat jawa dalam memaknai kehidupan dan lingkungan, serta sangat sesuai apabila di aplikasikan dengan kultur Indonesia, dalam hal ini di Yogyakarta.

Namun ironi, sejak disahkannya UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan daerah istimewa Yogyakarta yang menyebutkan bahwa terdapat 5 ranah yang dapat diatur secara otonom oleh Daerah Istimewa, yang selanjutnya diatur dalam Perdais (Peraturan Daerah Istimewa) yang meliputi pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kelembagaan, kebudayaan, pertanahan, dan penataan ruang, bukannya semakin memeperindah keindahan dunia, justru jogja seakan lupa akan nilai luhur dan mendegradasi lingkungan dengan mengatasnamakan pembangunan.

Terbukti sejak diberlakukannya UU tersebut, dimana secara perundangan menguatkan kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman,  banyak sekali permasalahan yang terjadi, khususnya terkait agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Media Selamatkan Bumi (http://selamatkanbumi.com) dan Kalatida (http://kalatida.com) mencatat berbagai kasus terkait agrarian tersebut, diantaranya adalah Pembangunan Bandara Internasional di Kulon Progo, Pembangunan Apartemen di Kawasan Padat Penduduk di Jalan Kaliurang, Penertiban dan Penataan Tanah Sultan Ground di Kulon Progo, dan masih banyak lagi.

 

Apakah ini, pembangunan berfalsafah Hamemayu Hayuning Bawana?

Apakah ini, tahta untuk rakyat yang diwasiatkan oleh HB IX?

Sementara itu, berbagai kerajaan bisnis keraton terus berkembang….. (read -> http://www.aktual.com/10-kerajaan-bisnis-keraton-yogyakarta/)

 

Sebagaimana dalam lirik Jogja Istimewa karya Jogja Hip Hop Foundation,

“jogja istimewa bukan hanya daerahnya, tapi juga karena orang-orangnya”

Memang benar, rakyat jogja istimewa, sejak HB IX bersama rakyat jogja membantu perlawanan ketika Jakarta dikuasai NICA dan saat itu Ibu Kota pindah ke Yogyakarta, hingga sekarang tetap istimewa. Berbagai perlawanan terus di gerakan di pelosok jogja, warga yang menjadi korban tak pernah tinggal diam. Terus melawan baik dalam jalur formal maupun informal. Korban terus bersuara menuntut haknya atas kota, haknya atas jogja.

Jelas, bahwa hak atas tanah sudah dijamin oleh UU No 5 Tahun 1960 tetang Pokok Agraria (UUPA), tidak terkecuali di DIY. Bertameng dengan Rijksblad No 16 dan 18 tahun 1918? Kenyataannya tidak bisa, karena sudah dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984. Bertameng dengan UU Keistimewaan (UUK)? Naif, hukum berasas retroaktif, lagipula yang dimaksud hak asal usul dalam UUK adalah bentuk penghargaan dan penghormatan negara atas berintegrasinya Kasultanan dan Kadipaten ke dalam NKRI untuk menjadi wilayah setingkat provinsi dengan status istimewa.

Lalu?

Yang mana yang hamemayu hayuning bawana?

 

 

Daftar Pustaka:

Suwardi Endraswara (2013). Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi

http://selamatkanbumi.com

http://kalatida.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.