HMTPWK UGM

img_0658-10

Oleh: M. Bagus Samudra (PWK UGM 2014)
Kepala Divisi Minat dan Bakat HMTPWK UGM 2016/2017

Halo, saya Muhammad Bagus Samudra, mahasiswa PWK UGM lahir tahun 1996, berarti samapai tahun ini umur saya sudah mencapai 20 tahun. Dalam 20 tahun itu saya sudah menjadi bagian dari perkotaan Yogyakarta. Meski secara administratif saya tinggal di Kabupaten Bantul, akan tetapi pada praktiknya kegiatan saya banyak yang terjadi di kota Yogyakarta. Begitulah keseharian saya sebagai seorang komuter dan dengan sudut pandang itu saya akan mecoba menggali dan mengenali kota beserta hak-hak penduduk atasnya.

Setiap hari kerja dan kadang saat akhir pekan ketika ada keperluan lain, saya harus berangkat dari rumah sejauh 15 km melewati lalu lintas perkotaan sehingga waktu tempuh mencapai +- 40 menit. Dalam waktu yang sekian itu, saya mengalami berbagai peristiwa di jalan raya. Jika tidak mengalami suatu peeristiwa, biasanya saya akan terlibat suatu debat internal dengan alter-ego saya. Jika tidak ada apa-apa juga di luar maupun di dalam, maka saya hanya akan menikmati perjalanan atau kadang mecari-cari jalan baru untuk menambah pengalaman.

Ya begitulah, masa proses perjalanan itu saya seperti mendapat sekelumit penerangan atas apa-apa yang seharusnya didapat seorang warga kota. Kalau saya jabarkan satu-satu kurasa bakal panjang sekali dan aku tidak yakin sanggup menuliskan semuanya. Tapi kalau mau ditarik isinya saja sepertinya saya bisa. Jadi inti dari hak seorang warga kota atas kotanya adalah hak untuk hidup layak. Entahlah bagaimana pembahasaanya, tetapi kurang lebih begitulah yang saya tangkap selama sekitar 13 tahun sejak kelas 2 SD saya melaju.

Bagaimana bisa begitu, barangkalai dirimu bertanya-tanya ? Selama ini saya lihat dan saya rasakan dalam perjalanan, dari pedesaan yang santai menuju hingar bingar kota yang sesak nafas bahwa sejatinya setiap orang berusaha untuk hidup layak. Dari orang-orang yang mengangkat padi-padi siap panen di pedesaan hingga bapak tukang tambal ban langganan saya yang buka bengkel di dekat gerbang kampus, semuanya berusaha untuk hidup sebagai manusia. Lalu lingkunga tempat tinggal mereka yang dikuasai oleh pemerintah seharusnya menjadi tempat yang menopang tujuan paling mendasar setiap manusia di atasnya, yaitu untuk hidup.

Bagaimanakah suatu kota yang menjadi perkumpulan berbagai pemukiman akan mejadi kota yang sebenar-benarnya jika ia ternyata tidak menyediakan ruang kehidupan bagi penghuninya ? Saya pernah terjebak suatu kemacetan di dekat lampu merah. Kebetulan saya berhenti di tepi gang suatu kampung bantaran sungai. Atas dasar tidak sabaran dan rasa penasaran maka saya berkeinginan untuk mecoba menjelaajahi kampung tersebut dengan motor saya, sekaligus menghindari kemaceta. Tapi apa yang saya dapat, ternyata jalan gang yang ada, selebar dua meter maksimal adalah satu-satunya jalan besar di kampung tersebut, selebihnya kampung ini hanya bisa disusuri dengan berjalan kaki, karena jarak antar rumah tidak lebih dari setengah meter, sehingga saya harus mengurukan niat saya menjelajah kampung tersebut dan terpaksa kembali kepada kemacetan.

Keadaan kampung yang demikian tentu tidak menunjang kehidupan yang layak secara kasat mata. Jarak antara rumah yang semepet itu tentu benar-benar meminimalisir privasi dan jalur keamanan gawat darurat. Saya tidak mecoba mecari-cari siapa yang salah dari keadaan ini, apakah para penghuningya yang sembarangan membangun atau pemerintah yang tidak berusaha menyediakan rumah tinggal yang layak, saya tidak tahu, terlalu rumit dan bertele-tele. Lalu selama kemacetan itu saya mecoba mencari-cari titik terang dari pengalaman saya tadi.

Kalau dipikir-pikir keadaan yang demikian, yaitu ruang hidp yang sempit secara fisik ternyata cukup banyak terdapat di seluruh penjuru kota Yogyakarta, terutama kawasan bantaran sungai. Sejauh pengetahuan saya, menurut standar nasional ruang hidup minam setiap orang adalah 9m persegi. Mebayangkan jalan antara rumah yang kurang dari setengah meter jelas jauh dari standar itu.

Saya jadi teringat, dulu ada cerita semasa sekolah di kampung di sekitar gedung ada seorang warga yang meninggal. Kondisi kampung tersebut kurang lebih mirip dengan kampung yang saya lihat ketika macet. Karena lebar jalan tidak cukup untuk dilewati keranda, maka mayat yang sudah dikafani harus dibawa keluar kampung dengan cara dirantai/dioper-oper melewati gang-gang sempit sampai keluar, baru setelah samapai jalan dengan lebar yang memungkinkan mayat dimasukkan ke dalam keranda dan dibawa ke kuburan.

Kejadian-kejadian seperti inilah yang membuat saya khawatir dengan ruang hidup yang sempit tersebut, terutama akses jalannya. Bagaimana jika tidak hanya ada yang meninggal, bagaimana kalau ada kebakaran atau penyakit menular ? Bisa kamu bayangkan betapa cepantnya bencana itu akan menyebar di kampung tersebut. Mengkhawatirkan memang, tetapi kenapa sepertinya tidak ada perbaikan ? Di mana pemerintah ?

Pemerintah sudah turun tangan sebisanya, tenang saja. Lihat saja proyek rumah susun dimana-mana. Di Yogyakarta sendiri setidaknya sudah ada dua rumah susun yang berdiri, satu di antaranya terbilang sukses. Pemerintah sudah berusaha mengurangi kepadatan di kawasan tertentu dengan cara ini, hanya saja soluis ini tidak selamanya solutif, kenapa ?

Rumah susun adalah hunian vertikal dan masyarakat kita sudah terlampau terbiasa dengan budaya hunian horisontal. Kita belum terbiasa dengan tetangga di atas atap atau tetangga di bawa lantai. Kita juga tidak terbiasa naik turuan tangga dan menyebut rumah kita dengan penomoran lantai. Ada kerentanan budaya disini, sehingga butuh usaha besar dan panjang agar hunian vertikal dapat menjadi solusi masa depan. Selain itu rumah susun yang ada biasanya merupakan ganti rugi penggusuran yang terjadi di kampung halaman terdampak. Karena merupakan ganti rugi seharusnya rumah susun menwarkan fasilitas yang sepadan dengan yang dihancurka, akan tetapi hal tersebut jelas sangat sulit karena kawasan yang digusur biasanya adalah kawasan tua yang sudah tumbuh selama bertahun-tahun. Kekayaan tiap keluarga jelas berbeda-beda sedang kita akan kesulitan untuk menyediakan rumah susun yang isinya berbeda-beda. Karena itulah masih perlunya penyempurnaan desain rumah susun agar bisa menjadi ganti rugi yang tepat bagi para terdampak.

Selain rumah susun apa lagi? Ada beberapa sebenarnya, tapi yang saya ingat adalah beautifikasi atau mempercantik kawasan. Cara ini dilakukan pada kawasan-kawasan padat yang masih memungkinan untuk dirombak. Terjadi pada beberapa kampung di tepi sungai Code seperti Prawirodirjan, Sayyidan dan sebagainya. Biasanya berupa penamahan jalan inspeksi, pergola, fasilitas toilet umum, asana, standarisasi jaringan air bersih dan sebagainya. Cara ini sepertinya yang banyak disukai, karena warga tidak perlu banyak beradaptasi, bahkan bisa dibilang mereka untung banyak dengan cara ini.

Sebenarnya banyak cara yang bisa diusahakan untuk menyediakan ruang hidup yang layak secara fisik, akan tetapi entah kenapa banyak sekali kendalanya. Mulai dari pemerintah yang kadang kurang seirus dalam menangani proyeknya. Hasilnya adalah pembangunan ifrastruktur yang asal-asalan, tidak tahan lama, bahkan kadang jadi penganggu saja. Selain itu kontrol yang kurang dari masyarakat dan pemerintah sendiri juga menyebabkan jalannya proyek menjadi tidak lancar. Sepertinya kita sudah mafhum bahwa korupsi sudah mengakar di berbagai lapisan masyarakat. Ada beberapa kasus, seperti beberapa kasus PNPM yang mana uang bantuan untuk membangun justru dikorupsi oleh beberapa penanggung jawab proyek dari pihak desa. Menyedihkan. Selain itu keengganan maasyarakat untuk membangun lingkungannya karena sikap menerima yang didasari sifat malas juga menjadi penyebab utama tidak berkembangnya suatu lingkunga tempat tinggal. Begitulah banyak cara, tetapi jika kemauan dari pelaksanyan tidak ada maka memang selamanya kita tinggal dalam kebobrokan jiwa dan lahiriah.



		
				
			

Leave a Reply

Your email address will not be published.