HMTPWK UGM

Menurut Lefebvre, hak atas kota terdiri dari dua hak utama, yakni hak atas pemantasan kota dan partisipasi. Yang dimaksud dengan pemantasan tersebut yakni hak masyarakat kota untuk menggunakan sepenuhnya ruang-ruang kota untuk kehidupan sehari-hari yang meliputi bermain, bekerja, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menggambarkan kota pada umumnya, bukan justru digunakan oleh golongan-golongan tertentu atau dengan kata lain dilakukan privatisasi ruang kota. Sedangkan yang hak atas partisipasi dalam hal ini merupakan hak untuk berperan dalam proses pembuatan keputusan dalam pengadaan ruang-ruang kota.

Dikutip dari buku Cities for All, Proposals and Experiences toward the Right to the City yang diterbitkan oleh Habitat International Coalition (HIC), hak atas kota dapat terwujud apabila masyarakat menjamin untuk adanya peran penuh sebagai warga negara dalam berbagai hal berikut:

  1. Manajemen demokrasi kota;
  2. Kesetaraan tanpa diskriminasi;
  3. Perlindungan spesial untuk kelompok orang-orang yang menghadapi masalah genting;
  4. Komitmen sosial dari sektor privat;
  5. Stimulan untuk solidaritas ekonomi;
  6. Perencanaan sosial dan manajemen kota;
  7. Lingkungan sosial yang mendukung kehidupan sosial yang produktif;
  8. Pengembangan kota yang setara dan berkelanjutan;
  9. Hak atas informasi publik;
  10. Kebebasan dan integritas;
  11. Hak atas keadilan;
  12. Hak atas keamanan, kedamaian, adanya dukungan dan dorongan untuk kehidupan yang multikultural;
  13. Hak atas air, akses, dan kelengkapan fasilitas umum kota dan domestik;
  14. Hak atas trasportasi publik dan mobilitas kota;
  15. Hak atas permukiman;
  16. Hak atas pekerjaan;
  17. Hak atas lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.

Jika tujuh belas poin tersebut dikaitkan dengan pendapat Lefebvre, maka idealnya, tidak ada pengecualian untuk setiap individu dalam pemanfaatan ruang kota. Bahkan, sudah seharusnya masyarakat itu sendiri yang terlibat dalam pengadaan seluruh komponen tersebut. Tetapi pada kenyataannya belum banyak kota yang bisa mewujudkannya. Alasannya karena pemerintah atau para pemangku kepentingan terdistraksi dengan tujuan-tujuan lain dan banyak terpengaruh oleh neoliberalisme, sehingga kota bukan untuk kepentingan kolektif tetapi untuk kepentingan para pemilik modal masif. Hal tersebut menyebabkan adanya kelompok-kelompok lain yang kepentingannya tersingkirkan dan menjadi kaum marjinal. Dalam hal ini, yang tergolong kaum marjinal sangatlah banyak, ada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, masyarakat sektor informal, penyandang disabilitas, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), orang tua, kelompok suku tertentu, anak-anak, waria, dan masih banyak lagi.

Lantas bagaimana cara mewujudkan hak atas kota untuk kalangan marjinal tersebut? Solusinya adalah melalui pengembangan komunitas dan aksi pergerakan sosial. Melalui protes, penyusunan proposal, jejaring sosial, diskusi, dan negosiasi. Dengan begitu, kita harus mendukung aksi-aksi dari sekelompok kalangan marjinal yang memiliki intensi sama untuk memperjuangkan hak atas kota. Barangkali ini terkesan omong kosong, tetapi kenyataannya ada banyak contoh kasus daerah yang mampu mengatasi penindasan hak atas kota melalui pergerakan tersebut, contohnya di Villa Esfuerzo yang pada awalnya dikuasai oleh perusahaan swasta sehingga muncul kemiskinan, eksklusi kelompok marjinal, pengurangan partisipasi masyarakat, dan terjadi banyak penggusuran. Kini kota terserbut sudah mampu mengendalikan kotanya sendiri.

Sebenarnya, di Indonesia tren pergerakan sosial sudah mulai muncul. Akan tetapi gaungnya belum banyak terdengar. Contoh komunitas yang dikembangkan untuk memperjuangkan hak atas kota, terutama hak atas kelompok marjinal, adalah komunitas untuk waria. Di Yogyakarta, di tengah-tengah kontroversial masyarakat atas keberadaan waria, muncullah sekelompok waria yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah di Banguntapan, Bantul. Tentu aksi ini berbanding terbalik dengan stigma masyarakat tentang waria tetapi itulah yang mereka lakukan untuk memperjuangkan agar tetap diakui dan bisa dianggap setara dalam masyarakat.

Selain kelompok majinal waria, di Yogyakarta juga berkembang kelompok-kelompok sosial untuk memperjuangkan hak atas penyandang disabilitas. Sebab seperti yang kita ketahui, saat ini fasilitas untuk penyandang disabilitas masih kurang, jika ditinjau dari segi mobilitas, misalnya terkait tidak adanya guide lines serta ketinggian curb cuts dan trotoar yang tidak stabil, tentunya menjadikannya tergolong belum ramah bagi pengguna kursi roda dan penyandang tuna netra. Oleh karena itu dikembangkanlah organisasi untuk memperjuangkan haknya, salah satunya adalah Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia). Organisasi tersebut bernegosiasi dan mengajak instansi-instansi pemerintah untuk meningkatkan fasilitas bagi penyandang disabilitas.

Dapat kita bayangkan, bila pergerakan sosial sepenuhnya digalakkan di Indonesia, negara yang kota-kotanya belum bisa sepenuhnya inklusif terhadap hak kolektif maupun individu akan bergerak menuju arah yang lebih inklusif tentunya. Dari beberapa contoh dapat kita lihat bahwa kelompok dengan aksi sosial yang dikembangkan bisa memberikan pengaruh besar bagi kaum marjinal. Maka apabila Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi dan mampu menggerakkan pemudanya secara masif untuk pergerakan sosial, akan semakin sedikit kelompok yang terekslusi dalam kehidupan perkotaan.

 

Sumber:

Brown & Kristansen (2009), Urban Policies and the Right to the City: Rights, responsibilities and  citizenship,  MOST2  Management  of  Social  Transformation,  UNESCO,  UNHABITAT

Purcell, Mark (2009), “Le Droit à la ville et les mouvements sociaux contemporains,” Rue Descartes, no. 63, 40-50.

Mathivet, Charlotte. (2010). Cities for All: Proposals and Experiences toward the Right to the City. Santiago: Habitat International Coalition.

 

Penulis: Alya Puspita

Leave a Reply

Your email address will not be published.